Minggu, 02 Agustus 2015

KARYA SASTRA ERA 1930-an

I.      PENDAHULUAN
Seni sastra, seperti cabang-cabang seni lainnya, bahkan hidup ini sendiri, berada dalam waktu. Kita hidup pada masa kini dalam realitas konkret. Hidup pada masa kini itu kita alami senyata-nyatanya. Kita terlibat dalam segalanya dan mengalami dampaknya. Harga BBM naik membuat kita pusing kepala. Gaji pegawai dinaikkan membuat kita sedikit lega. Tetangga kita bercerai, gosip kita dengar dari mana-mana. Bom meledak di pusat-pusat wisata, kita dibuat cemas juga. Hidup kita hidupi dalam masa kini. Persoalan-persoalan yang kita hadapi adalah persoalan masa kini. Semua yang kita kerjakan adalah untuk masa kini. Begitu pula seni dan sastra mempersoalkan masa kini.

Hidup pada masa kini kita alami sekonkret-konkretnya karena semua itu menentukan keberadaan kita. Tanggapan pemikiran dan tanggapan intuitif kita, yang diwujudkan dalam karya sastra adalah tanggapan untuk persoalan-persoalan nyata masa kini. Namun persoalan-persoalan masa kini itu asalnya dari mana? Masa kini hadir setelah adanya masa lalu. Karena segala sesuatu ini berada dalam waktu, masa kini adalah akibat dari masa lalu. Tidak ada masa kini tanpa masa lalu. Dan masa lalu nyata ada, tidak berubah. Siapa mampu mengubah masa lalu? Masa lalu dan masa kini adalah fakta, yang terhubung oleh suatu sebab akibat. Dan hukum kausalitas bukan fakta, tetapi fiksi, pikiran, dan kesadaran karena “hanya yang tak punya sejarah dapat didefinisikan” seperti kata Nietzsche. Sebab akibat itu suatu ketidakpastian kalau menyangkut segala sesuatu yang menyejarah, yang berubah. Hidup serta seni pun selalu berubah.
II.      PEMBAHASAN
Pada dasawarsa 1930-an Medan begitu banyak melahirkan novelis. Terbitnya majalah Pedoman Masyarakat pertengahan tahun 1935-an yang dikelola Hamka dan Helmy Yunan Nasution, ikut menyuburkan penulisan novel. Di majalah itu juga kita dapat menjumpai iklan-iklan novel terbitan sejumlah penerbit Medan. Termasuk juga iklan sayembara penulisan novel (roman). Para novelis Medan ketika itu, cukup populer terutama dalam penulisan novel detektif dan kisah-kisah petualangan (adventure). Beberapa di antaranya, Merayu Sukma, Yusuf Sou’yb, S.M. Taufik, Zalecha, dan Ghazali Hasan. Jalur penerbitan dan distribusi buku Medan, Tebingtinggi, Bukingtinggi, dan Padang memungkinkan perkembangan sastra masa itu bergerak semarak
A.  Sastrawan Era 30-an
    1.  Soeman Hs
Dalam kondisi perkembangan cerita terjemahan demikianlah karya-karya Soeman Hs kemudian muncul, membawa warna tersendiri, warna yang berbeda dari karya-karya pengarang sebelumnya. Jadi roman percintaan, kisah asyik-maksyuk dua sejoli yang diterpa badai kasmaran yang dipoles dengan gaya detektif dan dibumbui kejenakaan, memberi laluan bagi karya-karya Soeman Hs untuk dihargai dan dinikmati.
Karya pertamanya Kasih Tak Terlerai (hanya Pamusuk Eneste satu-satunya baru yang menulisnya “Terlerai”, bukan “Terlarai” sebagaimana yang disebut oleh Balai Pustaka) diterbitkan pertama kali tahun 1929 (Balai Pustaka menyebutnya tahun 1930), kemudian disusul Percobaan Setia (1931), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Kasih Tersesat (1932), Kawan Bergelut (1938), dan Tebusan Darah (1939), bercerita tentang percintaan, kesetiaan, pengkhianatan, bahkan juga adat dan agama beraroma detektif dan nuansa kejenakaan.
Selain sebagai pelopor cerita detektif Indonesia modern dan cerita humor tersebut, pengamat lain yaitu Pamusuk Eneste menyebutkan bahwa Soeman lazim dianggap sebagai salah seorang pemula cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern di samping “guru”-nya M Kasim. Tentang M Kasim ini, secara jujur Soeman Hs pernah mengatakan, “Karena membaca Teman Duduk, saya kemudian menulis Kawan Bergelut”. Sebuah pengakuan yang jarang terjadi di masa sekarang, bahkan tidak jarang terjadi justeru sebaliknya.
Sebagai pelopor cerita detektif, kita bisa cermati hampir seluruh karya Soeman memang penuh dengan muatan detektif. Saya katakan “hampir” karena memang belum seluruh karya Soeman saya baca. Dalam Kasih Tak Terlerai misalnya, upaya Taram dan Sitti Nurhaida kawin lari ke Singapura dan kemudian penyamaran Taram menjadi Syekh Wahab ketika hendak mempersunting kembali isterinya yang sudah lepas dari pelupuk matanya itu, jelas mengindikasikan kerja seorang detektif.
Sebagai penulis cerita humor, Soeman Hs sangat piawai memasukkan muatan humor yang menggelitik dalam ceritanya. Dalam Percobaan Setia misalnya, sebagaimana yang diuraikan oleh UU Hamidy dalam bukunya Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau, bahwa dalam roman Percobaan Setia pengarang mendedahkan bagaimana kejenakaan menjadi suatu bagian dalam pergaulan sosial orang Melayu. Dalam suatu perjalanan dari Pulau Pinang ke Jeddah, tokoh roman itu (Syamsuddin) telah berlagak dan berpura-pura menjadi dukun Melayu dengan mengatakan kepada dokter orang kulit putih di kapal itu bahwa ketela yang dijualnya berguna untuk “mengeluarkan angin”.
Cerita-cerita yang mencubit urat gelak itu, selain di dalam roman-romannya, akan lebih banyak dan kental kita temukan saat membaca kumpulan cerpennya Kawan Bergelut. Simaklah “Selimut Bertuah”, cerita tentang seorang bapak yang mengendap-endap membatalkan puasa dari pandangan isterinya. Sementara di bilik tempatnya bersembunyi, anaknya yang terbaring menahan haus dan lapar puasa dengan leluasa mengintai kelakukan bapaknya melalui celah lobang kain yang terbakar akibat api rokok. Begitu juga perdebatan anak India dengan Melayu tentang daun jelatang, kayu yang seluruh pokoknya yang jika tersentuh kulit akan menimbulkan rasa gatal luar biasa, termasuk daunnya. Anak Melayu menyebut daun itu “daun yang dibawa nabi dari surga” yang oleh anak India disebutnya “aun abi surga na datang”. Kesal dan tak percaya pada ucapan kawannya, anak India itu langsung menggosok-gosokkan daun tersebut ke pantatnya sebagai sikap ingin melecehkan daun itu.
Selain sebagai pelopor cerita detektif, cerita humor dan pemula cerpen Indonesia, satu hal yang perlu dan patut dicatat adalah bahwa Soeman Hs juga pelopor cerita mini Indonesia. Sebutan sebagai salah seorang pemula cerpen Indonesia modern akan menjadi kabur jika kita sandingkan karya Soeman (dalam Kawan Bergelut tentunya) dengan apa yang disebut cerpen saat ini. Bukankah Sapardi Djoko Damono pernah memunculkan istilah cerita mini (cermin), yang secara sederhana perbedaannya dengan cerpen terletak pada panjang-pendeknya. Cerpen lebih panjang dari cerita mini. Walaupun dalam ilmu sastra istilah itu belum diakui, seperti tidak adanya beda antara novel dan roman, namun karena istilah itu sudah terlanjur muncul dan sudah menggejala di tengah publik sastra, minimal perlu kesepakatan bersama untuk memaknainya sebagai konsep yang konkrit dan jelas. Dan jika memang cermin diterima oleh khalayak sastra kita, tokoh yang pertama yang harus disebut untuk penulis genre sastra ini adalah Soeman Hs.
Namun dalam sebuah wawancara, di sisa usianya Soeman pernah mengeluhkan mengapa karya-karyanya tidak lagi dicetak sehingga banyak orang yang tidak lagi tahu buku-bukunya. “Padahal, dibandingkan dengan novel-novel sekarang, secara bahasa karya saya masih bisa dipersandingkan….” ucapnya.
Paling tidak kelanjutan dari kegelisahan Soeman itu, memunculkan beberapa pertanyaan. Mengapa misalnya Sengsara Membawa Nikmat (1928), Siti Nurbaya (1922), dan Katak Hendak Menjadi Lembu (1935) masih dengan mudah kita temukan di toko-toko buku? Ke mana hilangnya karya-karya Soeman? Siapa “pencuri” karya-karya yang pernah mengharumkan nama Riau di pentas kesusastraan Indonesia itu? Padahal karya-karya itu lebih tua atau setidaknya semasa kelahirannya dengan karya-karya Soeman Hs. Malah dua buku yang diminati Soeman adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya Muhammad Kasim, yang terakhir ini sekaligus diakui sebagai kumpulan cerita pendek pertama.
2.  Armijn Pane
Menurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari 8 bersaudara, mempunyai nama samaran banyak, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan.
Selain sebagai seniman sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru. Bahkan Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ia meninggal tanggal 24 Januari 1991. Ayah Armijn Pane itu juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional, di Palembang. Dan hal ini juga menyiratkan bahwa orang tua itu termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga terwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane.
Pada Armijn Pane dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya “Tanah Air dan Masyarakat” dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekalai ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia telah mengecewakan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di HollandsislandseSchool (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk EuropeselagereSchool (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 menjadi Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Sayang sekolahnya tidak dilanjutkan, kemudian tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya. Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI jurusan bahasa dan kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.
Dalam dunia pendidikan ia juga tercatat sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa, baik di Kediri maupun di Jakarta. Oleh karena itu salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya. Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokoh-tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama “Antara Bumi dan Langit”. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal ini mungkin saja karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu itu. Ternyata, memang Armijn Pane bukan tertarik oleh dunia kedokteran, melainkan tertarik oleh dunia seni. Untuk itu ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Zaman Jepang ia menjabat kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di sampaing itu, tahun 1938 ia menjadi sekretaris Kongres Bahasa Indonesia yang pertama, ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komosi istilah Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif.
Ternyata ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) selepas tahun 1950. Dalam penerbitan, ternyata Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi makalah Indonesia. Demikian pula dalam dunia film Armijn aktif sebagai anggota sensor film, (1950—1955).
Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia Armijn terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933 di samping Sutan Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Mulai tahun 1933—1938 ia menduduki jabatan sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu sebelum diterbitkan sebagai buku, dimua dalam majalah Pujangga Baru.
Armijn Pane adalah pengarang yang berpendirian kokoh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu seperti berikut, “kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”
Jadi, apapun yang dihadapkan pada keyakinannya yang sudah kokoh itu tak akan menggoyahkannya. Dalam karya Belenggu, tekadnya menjadi seorang manusia yang berguna bagi bangsa dan negara seperti yang disarankan Armijn Pane dalam ceramahnya yang tercermin pada tokoh dr. Sukartono dalam novel Belenggu. Tokoh itu sangat memperhatikan para pasiennya sehingga menomorduakan rumah tangganya sehingga berantakan. Ketidakharmonisan rumah tangga dr. Sukartono memang berawal dari ketidakpuasan Tini akan sikap dr. Sukartono yang lebih mengutamakan pasiennya daripada istrinya itu.
Dalam hal teknik penyusunan ada kesamaan antara Armijn dan Putu Wijaya serta Iwan Simatupang. Teknik itu menyatu dengan pemikiran yang ingin disampaikan seperti tampak dalam novel Belenggu itu.
Kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin (1954:67—70) mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelktual sebelum perang.
Di dalam sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup (dalam Anita, 1993). Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat dari artinya, “Gamelan”berarti alat-alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin si penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda. Cinta pada tanah air, cinta pada Tuhan, dan cinta pada sastra.
Sayang sekalai ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia telah mengecewakan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.
Armijn Pane meninggal pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970 pukul 10.00 pagi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Menurut berita di surat kabar ia diserang Pneumonic Bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir adalah pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya. Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia 6 tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di jalan Setia Budi II No. 5, Jakarta.
3.  Buya Hamka
Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara.
Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya.
Dan, layaknya seorang anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan orang Minangkabau yang suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia sudah seringkali meninggalkan rumah. Pada umur 16 tahun misalnya, ia sudah pergi ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dari berbagai tokoh pergerakan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Kursus-kursus para tokoh pergerakan yang diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta, untuk beberapa lama diikutinya. Alhasil, jiwa pergerakannya menjadi tumbuh semakin kuat, apalagi setelah ia tinggal di rumah iparnya yang menjadi ketua cabang Persyarikatan Muhammadiyah, A.R Mansur di Pekalongan. Di situlah Hamka mendapat ‘udara’ pengalaman pertamanya di dalam mengurus keorganisasian.
Setelah beberapa lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka pulang kampung ke Sumatera Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang berada di Gatangan, Padangpanjang. Disitulah ia kemudian mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah. Semenjak itulah sejarah kiprah Hamka dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru berakhir beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.
Kiprah Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah ia pindah ke Medan, pada 22 Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas ke segenap wilayah Sumatera bagian timur. Pada sisi lain, secara perlahan tapi pasti kemampuan intelektual dan kepenulisannya juga semakin terasah, terutama setelah ia memimpin majalahPedoman Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan serta cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian jernih. Bakat menulisnya sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga berkembang secara simultan dengan kemampuan orasinya yang amat memukau.
Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti: Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940, kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur.
Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang ‘berpretensi negatif’ terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan ‘tasawuf positip’ yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.
Hamka sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai ‘Si Bujang Jauh’ karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.
Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya (24 tahun yang lalu), sekembalinya dari lawatannya ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan
Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.
B.   Bentuk-Bentuk Karya Sastra
    1.  Drama
Sumber drama-drama ini adalah fiksi, tafsir fakta sejarah, namun tetap berbicara untuk persoalan zamannya. Dasawarsa 1930-an adalah masa tekanan kolonial terhadap gerakan kaum intelektual yang aktif dalam pergerakan nasional di bawah Gubernur Jenderal de Graeff dan de Jonge. Muhammad Yamin adalah tokoh politik dan pemerintahan setelah kemerdekaan. Gagasan dan pemaknaan masa lampau Indonesia dipakai untuk memaknai zamannya sendiri karena tidak mungkin mengobarkan semangat perjuangan demi persatuan bangsa dengan bertolak dari fakta zamannya. Fiksi dalam fiksi ini menyembunyikan simbol masa kininya dalam drama-drama mereka.
Mohammad Yamin menulis drama-drama yang membayangkan kesatuan bangsa ini dalam bentuk simbolis dengan mengangkat mitos-mitos masa lalu. Begitu pula Sanusi Pane membayangkan masa depan kesatuan bangsa melalui kenangan masa lalu. Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana membahas realitas zamannya sebagai bayangan masa depan masyarakatnya yang modern dalam roman-roman mereka yang terkenal, Belenggudan Layar Terkembang.
Dari dua belas naskah drama Pujangga Baru, hanya dua drama yang berkisah tentang zamannya sendiri, selebihnya mengambil peristiwa sejarah masa Hindu-Buddha di Indonesia. Para sastrawan Pujangga Baru berbicara tentang fiksi. Dalam drama Muhammad Yamin, Ken Arok dan Ken Dedes, kedua tokoh suami istri ini rela mati di ujung keris Empu Gandring demi “persatuan kembali tanah Jawa”. Begitu pula drama Armijn Pane, Nyai Lenggang Kencana, pahlawan Padjadjaran, Mundingsari, merelakan kekasihnya, Lenggang Kencana, kawin dengan raja Galuh, demi persatuan negara di Sunda.
2.
  • Puisi
Kropek 632 Kabuyutan Ciburuy
Oleh JAKOB SUMARDJO
Ada dahulu ada sekarang
Bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang
Karena ada masa silam maka ada masa kini
Bila tiada masa silam tak akan ada masa kini
Sejak munculnya gagasan kebangsaan di Indonesia pada awal abad ke-30, sastra telah difungsikan sebagai pembentuk gagasan tersebut. Mohammad Yamin dan Mohamad Hatta menulis sajak-sajak tentang kesatuan bangsa yang dibayangkan.
Pada karya puisi, selain Selasih pada akhir 1930-an muncul jugavpenyair S Rukiyah yang juga tercatat sebagai jurnalis dan aktif dalam pergerakan politik. Selain menulis puisi, cerpen, maupun novel, S Rukiah yang juga pernah menjadi anggota pengurus pusat Lembaga Sastra Indonesia, Lekra, dan redaktur penerbit Yayasan Kebudayaan Sadar sekaligus mengelola majalah untuk anak-anak, Kutilang, dari penerbit yang sama, juga menulis beberapa esai. Karya- karya S Rukiyah banyak memuat warna semangat nasionalisme
3.  Cerpen
Dalam torehan sejarah tulis menulis di Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi, novel, drama. Riwayat penulisan cerpen dimulai pada awal 1910-an, yaitu ketika dikenalkannya cerita-cerita yang pendek dan lucu yang ditulis oleh M. Kasim bersama Suman Hs. Cerpen ‘Bertengkar Berbisik’ (1929) karya M. Kasim dianggap sebagai cerpen pertama di Indonesia, sedangkan Teman Duduk (Balai Pustaka, 1936) karya Suman Hs adalah kumpulan cerpen pertama. Memasuki tahun 1930-an penulisan cerpen di Indonesia mulai bergairah dan semakin semarak karena didukung oleh terbitnya dua majalah penting saat itu, yaitu Pedoman Masjarakat dan Poedjangga Baroe. Tema-tema yang semula hanya mengungkap hal yang ringan dan lucu, mulai berkembang ke tema serius yang menyangkut kemanusiaan, pergerakkan dan kebangsaan, serta tema-tema revolusi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan memproklamirkan diri sebagai Kemakmuran Asia Raya, makin memarakkan penulisan cerpen. Karangan cerpen dianggap ‘lebih efektif dalam mendukung tujuan bersama’ karena sifatnya lebih pendek (dibanding novel) dan lebih komunikatif (dibanding puisi). Pemerintah Jepang pun memfasilitasi beragam kegiatan lomba cerpen dan membuka rubrikasi cerpen pada koran Djawa Baroe dan Asia Raja yang merupakan media propaganda Nipon.
Tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan pemerintahan Jepang, situasi itu telah ikut mendorong cerpen sebagai genre sastra yang cukup penting di Indonesia. Kekecewaan atas ingkarnya Jepang akan janji-janjinya tercermin pada karya cerpen-cerpen saat itu yang bersifat kritis dan sinis yangm muncul setelah berakhirnya pemerintahan Jepang. Hal tersebut terlihat pada karya Idrus, yang oleh H.B. Jassin disebut sebagai pembaharu cerpen modern di Indonesia. Idrus dianggap lebih realistis dan apa adanya dibanding dengan cerpen periode sebelumnya yang semata-mata mengungkap hal-hal yang baik dan menyenangkan. Zaman itu muncul majalah-majalah yang khusus menampung beragam jenis cerpen, seperti majalah TjerpenKisah, dan Prosa. Akibatnya, penulisan cerpen makin meroket dan pesat.
4.  Roman
Roman-roman Pujangga Baru justru bertolak dari fakta zamannya untuk menggambarkan fiksi masa depan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena kedua roman tersebut tidak membahas “kebangsaan” secara politik, tetapi lebih kemasyarakatan, yakni kedudukan perempuan di dunia modern kelak kalau Indonesia sudah merdeka. Para kritikus zaman itu menamakan roman-roman semacam itu sebagai “bertendens”, yaitu roman utopis yang justru belum terjadi pada zamannya.
Masa depan Indonesia yang digambarkan dalam roman-roman itu adalah gaya hidup modern global, yang pada zaman itu masih merupakan impian saja. Tidak mengherankan apabila roman Belenggu mendapat reaksi keras dari pembaca-pembaca intelektual pada zamannya. Paradoks sikap kebangsaan ini akan terus hidup dalam masa-masa selanjutnya sejarah sastra Indonesia. Paradoks itu amat nyata dalam karya-karya Armijn Pane.
C.   Pengarang dan karya sastra
  1. Merari Siregar :  Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921), Binasa kerna gadis Priangan! (1931), Tjinta dan Hawa Nafsu
  2. Marah Roesli :  Siti NurbayaLa HamiAnak dan Kemenakan
  3. Nur Sutan Iskandar : Apa Dayaku Karena Aku Seorang PerempuanKatak Hendak Menjadi Lembu (1935)
  4. Tulis Sutan SatiSengsara Membawa Nikmat (1928), Tak DisangkaTak Membalas Guna
  5. Aman Datuk Madjoindo : Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934), Sampaikan Salamku Kepadanya
  6. Adinegoro : Darah MudaAsmara Jaya
  7. Sutan Takdir Alisjahbana : Tak Putus Dirundung MalangDian jang Tak Kundjung Padam HamkaDi Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Didalam Lembah Kehidoepan(1940)
  8. Said Daeng Muntu : Pembalasan
D.
  •  Peranan Penerbit
    1.   Balai Pustaka
Sebelum Indonesia merdeka, Balai Pustaka didominasi sastrawan Sumatera dengan Minangkabau yang paling banyak melahirkan sastrawan. Tetapi, ketika itu pun tak ada novelis Lampung di sana. Medan yang lebih jauh dari pusat pemerintahan, malah ikut bermain. Dua di antaranya, Muhammad Kassim dan Suman Hs., meski Suman kemudian hijrah dan menjadi warga Melayu di Riau. Keduanya bahkan dipandang sebagai perintis novel-novel komedi. karya sastra di Indonesia sejak tahun 1930, yang dipelopori oleh penerbit Balai PustakaProsa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya sastra kita sebenarnya sudah sering terjadi. Pada masa kolonial, terjadi polemik terselubung antara tokoh-tokoh Balai Pustaka dengan orang-orang di luar Balai Pustaka. Dalam Nota Rinkes, misalnya, disebut-sebut mengenai karya-karya sastra yang dianggap melanggar tabu dan ”merusak moral.” Pada akhir masa kolonial, kemunculan Belenggu karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga menimbulkan kontroversi
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura. ’Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka’· Azab dan Sengsara Seorang Gadis oleh Merari Siregar · Binasa oleh Gadis Priangan · Cinta dan Hawa Nafsu · Siti Nurbaya oleh Marah Rusli · La Hami · Anak dan Kemenakan · Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan oleh Nur Sutan Iskandar · Karena Mertua · Hulubalang Raja · Katak Hendak Menjadi Lembu · Salah Asuhan oleh Abdul Muis · Pertemuan Jodoh · Surapati · Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis Sutan Sati Tak Disangka
Tak Membalas Guna · Memutuskan Pertalian · Menebus Dosa oleh Aman Datuk Madjoindo · Si Cebol Rindukan Bulan · Sampaikan Salamku Kepadanya · Kasih Tak Terlarai oleh Suman Hasibuan · Mencahari Pencuri Anak Perawan · Percobaan Setia · Darah Muda oleh Adinegoro · Asmara Jaya · Tak Putus Dirundung Malang oleh Sutan Takdir Alisjahbana · Dian yang Tak Kunjung Padam · Anak Perawan Di Sarang Penyamun · Di Bawah Lindungan Ka’bah oleh Hamka · Tenggelamnya Kapal van der Wijck · Tuan Direktur · Di Dalam Lembah Kehidupan · Nji Rawit Tjeti Penjual Orang oleh I Gusti Njoman Pandji Sutisna · Sukreni Gadis Bali · I Swasta Setahun di Bedahulu · Pembalasan oleh Said Daeng Muntu · Karena Kerendahan Hati · Pahlawan Minahasa oleh Marius Ramis Dayoh · Putra Budiman Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.
2.  Poejangga Baroe
Sutan Takdir Alisjabana atau biasa ditulis STA adalah budayawan, sastrawan, dan cendekiawan terkemuka. Bersama Armijn Pane dan dibantu Amir Hamzah, STA menerbitkan Pudjangga Baru pada Juli 1933. Lahirnya majalah Pudjangga Baru menjadi penanda hidupnya gelombang kesusastraan dan kebudayaan Indonesia modern.
Pada tahun-tahun awal terbit, Pudjangga Baru mengusung jargon “Madjalah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem” dan kesusastraan masih menjadi lokomotif. Maklum saja, para pendirinya adalah sastrawan. Amir Hamzah seorang penyair, sementara Armijn Pane dan STA adalah prosais.

Poejangga Baru pun menjadi magnet dan sekaligus gelanggang baru bagi penulis-penulis kreatif angkatan baru. Di gelanggang ini, memang cuma segelintir orang. Namun dalam sejarah sastra, justru nama-nama mereka tiada lekang. Pudjangga Baru yang menjadi medan kreatif itu pun hanya beroplah sedikit, yakni 150 eksemplar dan dicetak sebulan sekali. Jumlah oplah itu sejumlah pelanggannya yang sebagian besar berasal dari golongan intelektual. Harga langganan sekwartal 4.50 sen atau eceran sebesar 1.50 sen.
Namun ajeknya nama-nama yang berhimpun di Pudjangga Baru bukanlah ditentukan berapa ribu pengikut fanatik dan berapa oplah cetak, tapi oleh kedalaman pikiran. Tentu siapa pun pembaca sastra Indonesia tak pernah melupakan nama-nama seperti Idrus yang dikenang lewat karyanya Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Amir Hamzah dengan Nyanyi Sunyi (1937), Sanusi Pane dengan Madah Kelana (1931), Rustam Effedi, J.E Tatengkeng, Muhammad Jamin, Suwandhi, Nyoman Panji Tisna, Hr. Bandaharo, Asrul Sani, Mochtar Apin, Aoh Kartahamadja, Rivai Apin, A.A. Katili, Achdiat K Mihardja, dan Dr. M. Amir. Kesemuanya adalah penulis-penulis yang lahir dan besar bersama Pudjangga Baru.
Di antara sederet kecil nama itu, nama STA tetap menjadi ikon dan nyawa bagi Pudjangga Baru. Jajaran redaksi kerap mengalami pergantian. J.E Tatengkeng, Bugroho, L.S. Sitorus adalah nama-nama yang pernah merasakan kursi redaksi. Tapi bandul pemikiran tetap dipegang STA.
E.   Sastra Perempuan Tempo Dulu
Sastra Indonesia karya para perempuan penulis pada periode-periode sebelum 1990, setidaknya dapat dipilah menjadi tiga periodisasi. Pertama adalah masa ketika konsep Indonesia sebagai bangsa mulai matang dan mendekati masa kelahiran (1930-1950-an). Periode ini ditandai dengan kemunculan roman karya Soewarsih Djojopoespito, Buiten Het Gareel, pada tahun 1940.
Sesungguhnya karya ini telah muncul pada tahun 1930-an dalam bahasa Sunda. Namun, saat itu roman ini menjadi salah satu karya yang ditolak Balai Pustaka (BP). Alasannya, dianggap terlalu maju dan tidak bisa dicerna oleh pembaca Hindia Belanda ketika itu. Uniknya, sekalipun ditolak penerbitannya, Buiten Het Gareel ternyata mampu menarik perhatian. Ahli sastra Indonesia, A Teeuw, bahkan pernah menyatakan Buiten Het Gareel sebagai karya sastra teragung yang pernah hadir pada periode Balai Pustaka.
Pada periode yang sama, perempuan penulis lain yang juga patut diperhitungkan adalah Selasih dengan karyanya Kalau Tak Untung yang diterbitkan oleh BP tahun 1933. Selasih juga dinobatkan sebagai perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia. Pada tahun yang berdekatan, muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan novel Kehilangan Mestika yang terbit pada tahun 1935, juga diterbitkan oleh BP.
Kebanyakan para perempuan penulis di era ini berprofesi sebagai jurnalis dan pendidik. Kisah-kisah yang bersifat didaktis diramu dengan berbagai unsur yang terkait dengan bidang masing-masing tampil mewarnai karya mereka. Karya-karya mereka seolah tampil sebagai otobiografi
Masa ini dapat diamati sebagai masa di mana banyak perempuan penulis tampil dengan cerita-cerita pendek dan puisi. Umumnya mereka aktif terlibat di media massa, komunitas-komunitas sastra, maupun bidang lain, juga penerbitan. Karya-karya mereka pun sering kali tidak menonjol di pasar, dan kalangan yang memberikan perhatian pada karya-karya mereka pun masih terbatas.
Nama Rayani Sri Widodo, Dorothea Rosa Herliany, Leila S Chudori, Ratna Indraswari Ibrahim, Helvy Tiana Rosa, ataupun Oka Rusmini muncul pada periode ini.
Karya-karya mereka dinilai mampu memberikan pencerahan bagi para pembacanya sehingga layak untuk dinilai sebagai karya-karya sastra yang baik (atau mengikut istilah yang sempat dipelopori oleh A Teeuw, karya-karya mereka dapat digolongkan sebagai karya Sastra, dengan huruf “S” besar). Apalagi, hingga saat ini, para penulis ini masih tergolong produktif menulis maupun aktif pada berbagai bidang.
F.   Peranan Karya Sastra Bagi Bangsa Indonesia
Bagi sejarawan dan peneliti kesusatraan Indonesia, jasa sastrawan dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. Para sastrawan telah memberikan dasar arah kebudayaan Indonesia; identitas Indonesia mengental dan terumuskan dari pikiran-pikiran para sastrawan yang tersebar dari berbagai media yang ada di Nusantara. Puisi, cerpen, novel dan esei yang ditulis oleh sastrawan telah memberikan pandangan-pandangan baru terhadap masyarakat Nusantara sejak lama. Karya-karya itu membongkar dan mebentuk pikiran masyarakat untuk menentukan Indonesia pada masa depan, yaitu:
  1. Pertama, mendorong rasa etnisistas menjadi nasionalisme Indonesia . Pada tataran ini para pengarang sudah membuka aura kebersamaan dengan mengemukakan berbagai dilema di bawah pemerintahan kolonial. Kita bisa lihat banyak cerita dan puisi Indonesia yang terbit sebelum Sumpah Pemuda 1928. Bahkan pada tahun 1920 seorang Penyair Indonesia, M. Yamin menggagas mengenai “Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia di Masa Depan”. Pada tahun 1930-an sekelompok pengarang yang terhimpun dalam Pujangga Baru mendiskusikan mengenai arah dan identitas masa depan Indonesia. Pada tahun itu muncul pemikiran-pemikiran tajam dari pengaranag muda, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana dan Armeijn Pane. Takdir dan Armeijn beserta pengarang lainnya yang menulis puluhan tulisan dalam Panji Pustaka, kemudian dalam majalah Poejangga Baroe, berpikir keras bagaimana membentuk “masyarakat Indoensia baru” dengan medium “Menuju Kesusatraan Baru”. Dalam konteks itu para pengarang pada masa peregerakan tersebut menguras pemikiran mereka untuk menciptakan suatu kondisi kebudayaan Indonesia yang dinamis. Karena dengan begitulah bangsa Indonesia akan maju dan lepas dari penjajahan.
  2. Kedua, para pengarang sudah memberikan komunikasi kebangsaan secara luas. Para pengarang yang berasal dari berbagai suku menulis berbagai latar belakang kebudayaan dalam berbagai karya mereka. Karang-karangan itu dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia dan memungkinkan seluruh lapisan masyarakat untuk memahami diri mereka dan diri masyarakat lain. Artinya para pengarang sejak awal sudah mendorong pluralisme sekaligus kesatuan sebelum Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara. Pemahaman itu tidak mungkin tuimbul dalam diri para politikus maupun negarawan begitu saja, karena politikus dan negarwan sering berpikir dari sisi praksis sementara para pengarang berpikir dalam tataran kemanusiaan yang paling dalam.
  3. Ketiga, pengarang juga membentuk iklim demokratis tanpa kekerasan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan. Sumbangan ini sangat penting bagi pertumbuhanIndonesia. Senjata para pengarang adalah pena dan pikiran; apa pun masalah, bagi pengarang cara penyelesaiannya adalah dengan pikiran dan pena ; mereka menuliskan gagasan mereka. Gagasan itu akan menjadi bahan dasar bagi paraktisi untuk bertindak. Sebutlah contoh mengenai gagasan pengembangan pendidikan, teknologi dan kebudayaan , ide-ide itu secara tajam bisa kita baca pada polemik Pujangga Baru tahun 1930-an. Gagasan-gagasan itu terus bergulir dan ditindaki sampai saat ini.
G.  Pandangan Masyarakat terhadap Sastrawan di Era Masa Kini
Tingginya sumbangan sastrawan terhadap perubahan kebangsaan Indonesia tidak sejajar dengan perhatian pemerintah, masyarakatt dan perubahan tingkat kelayakan hidup para sastrawan. Sastrawan makin terpinggirkan dalam berbagai proses kebijakan sosial, politik dan ekonomi. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap sastra tidak kian maju. Para sastrawan makin baik secara kuantitatif dan kwalitatif namun tetap tidak bergerak secara sosial dan ekonomi.
Penghargaaan pemerintah dan masyarakat terhadap sastrawan jauh di bawah penghargaan terhadap dunia olah raga dan penyanyi dangdut. Dunia olah raga misalnya, bisa mendapatkan dana milyaran dan jaminan hidup dari negara. Penyanyi dangdut bisa dihargai masyarakat dengan tayangan khusus di televisi dengan bayaran puluhan juta sekali panggung. Sastrawan menerbitkan karyanya sendiri dan mendanai kegiatannya dengan jerih payah keringatnya. Mereka hidup secara swasembada, tetapi dipandang dengan “sudut mata kiri”.
Sejarah memang menunjukkan, menjadi sastrawan memang penuh dengan idealisme; hidup adalah berjuang dalam kesepian. Sementara, pada sisi lain, kapitalisme, akibat perkembangan pengetahuan dan tekonologi, makin maju. Dunia ini memang mengutamakan pasar ekonomi yang praktis: semua berujung pada uang dan materi. Produk sastra kadangkala dianggap sebagai barang tidak laku, walaupun ia telah membuktikan mampu mengubah dinamika dunia. Kapitalisme dan materialisme mencakar ke mana-mana sampai ke pojok kampung. Tawaran-tawaran kesenangan setiap hari bermunculan dan berdatangan di depan kehidupan manusia, termasuk pada sastrawan.
Para sastrawan tidak bedanya dengan manusia lain, mereka membutuhkan kebutuhan pokok, biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan lainnya. Sementara kebutuhan tertier sudah begitu meruyaknya (umum) sedangkan kebutuhan pokok saja susah dipenuhi oleh sastrawan. Ini membuat mereka memang berjuang dengan sekuatnya: apakah mereka mengarang sekedar menghasilkan karya, kebenaran tanpa memperhatikan kehidupan keluarga ataukah untuk segalanya. Tampaknya rayuan materialisme sungguh tidak mungkin dielakkan.
Sekarang sastra (wan) dalam lingkaran kapitalisme dan materialisme pada satu sisi tersisihkan namun pada sisi lain telah diolah oleh pelaku kapitalis sebagai komoditi. Sebahagian lagi sastrawan sudah masuk pula dalam kegiatan “gerakan kebudayaan” yang bergantung pada dunia kapitalis. Sastra(wan) sudah menjadi komoditi yang bisa didagangkan dan ditawar. Dalam tataran ini terjadi juga persaingan antara sastrawan untuk memasuki pasar, karena dalam dunia kapitalisme yang kuat dan cepat akan menjadi subjek, maka yang lain akan menjadi objek. Kadangkala objek dimainkan dengan begitu “murahnya”,. Sehingga “gerakan kebudayaan” jatuh pada kegiatan tidak manusiawi: menjual sastra (wan). Dalam tataran ini hanya sastrawan yang mau mengikuti pasar dan dekat dengan pusat kekuasaan politik dan ekonomi yang akan muncul kepermukaan, sementara yang jauh dari orbit itu akan ketinggalan dan tidak diketahui. Di sini terlihat sastra Indonesia tidak muncul ke permukaan dengan fair dari segala potensi dan pelosok, bahkan sebahagian sastrawan dikorbankan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
III.  PENUTUP

  1. Sastrawan Era 30-an: Soeman Hs, Armijn Pane, Buya Hamka
  2. Bentuk-Bentuk Karya sastra: drama, cerpen, puisi, dan roman
  3. Penerbit di era 30-an antara lain Balai Pustaka dan Poejangga Baroe
  4. Sastra Perempuan Tempo Dulu: sastra Indonesia karya para perempuan penulis pada periode-periode sebelum 1990, setidaknya dapat dipilah menjadi tiga periodisasi. Pertama adalah masa ketika konsep Indonesia sebagai bangsa mulai matang dan mendekati masa kelahiran (1930-1950-an). Periode ini ditandai dengan kemunculan roman karya Soewarsih Djojopoespito, Buiten Het Gareel, pada tahun 1940
  5. Peranan Karya Sastra Bagi Bangsa Indonesia: a) Pertama, mendorong rasa etnisistas menjadi nasionalisme Indonesia, b) Kedua, para pengarang sudah memberikan komunikasi kebangsaan secara luas dan c) Ketiga, pengarang juga membentuk iklim demokratis tanpa kekerasan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan.
  6. Pandangan Masyarakat terhadap Sastrawan di Era Masa Kini: tingginya sumbangan sastrawan terhadap perubahan kebangsaan Indonesia tidak sejajar dengan perhatian pemerintah, masyarakatt dan perubahan tingkat kelayakan hidup para sastrawan. Sastrawan makin terpinggirkan dalam berbagai proses kebijakan sosial, politik dan ekonomi. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap sastra tidak kian maju. Para sastrawan makin baik secara kuantitatif dan kwalitatif namun tetap tidak bergerak secara sosial dan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar